Era digital yang kini
telah menjadi bagian kehidupan keseharian masyarakat, khususnya generasi muda
memang akan mengubah pola kehidupan. Termasuk pola belajar dan pola
penyebaran informasi. Saya meyakini, era kertas pelan tetapi pasti akan
tergeser.
Ketika kamus digital dapat diperoleh dengan mudah dan murah, misalnya
dapat dimasuk ke dalam Gadget, maka kamus tercetak akan terancam. Saya
sendiri sekarang sudah jarang memegang kamus. Jika memerlukan terjemahan
dapat membuka “Pocket Dict” di Gadget. Baru jika tidak memadai
kemudian mencari kamus tercetak.
Tidak hanya itu.
Setahap demi setahap, jurnal, majalah, buku dan bahkan koran juga akan digeser
oleh versi digital. Jurnal ilmiah yang biasanya mahal karena jumlah
cetakannya tidak banyak, kini sudah mulai beralih ke bentuk digital.
Perpustakaan dengan senang berlangganan jurnal online karena murah dan tidak
memakan tempat. Hampir semua koran sekarang sudah punya versi online.
Dan buku teks juga sudah mulai masih ke versi digital. Jika itu
terjadi, maka penyebaran informasi benar-benar melalui versi baru yaitu
digitalisasi informasi.
Apa dampaknya pada pendidikan?
Sangat besar. Bahkan sangat-sangat besar, sehingga akan mengubah secara
total pola pembelajaran dan pola pendidikan. Itulah tantangan yang kini
harus dipikirkan oleh setiap orang yang merasa sebagai ahli dan pemerhati
pendidikan. Pendidikan yang menggunakan era digital sebagai wahana
pendidikan.
Saya membayangkan, anak-anak SD
sudah pandai membuka internet, mencari informasi yang dibahas bersama guru dan
teman sekelasnya. Informasi itu dibandingkan, dikategorikan dan
dianalisis kemudian diambil kesimpulan. Misalnya anak kelas 3 SD sedang
membahas “burung merpati”. Mereka mengunduh berbagai informasi tentang
burung merpati, jenisnya, ukurannya, makanannya, bagaimana bisa terbang dan
sebagainya. Berbagai informasi itu kemudian dibanding-bandingkan,
dikategorikan, dianalsisis dan disimpulkan.
Mereka bekerja secara kelompok
dengan dibimbing oleh guru. Guru memberikan panduan, berupa pertanyaan
pengungkit (probing question) untuk mendorong siswa berpikir dan mencari
jawabannya. Peran guru tidak memberi informasi tetapi mendampingi dan
mengarahkan bagai siswa mencari informasi. Ketika siswa harus
membandingan dan mengkategorikan informasi, peran guru mendampingi dan
mengatakan “apa harus begitu?” “apa tidak ada cara lain?” “apa
tidak boleh begini?” Dan seterusnya, sampai siswa menemukan jawaban dan dia
mengatakan “ya saya menemukan jawabannya”.
Bukankah pola kerja
seperti itu yang dilakukan orang dewasa saat bekerja? Bukankah pola pikir
seperti itu yang diterapkan para ilmuwan saat melakukan penelitian? Jadi
dengan pola belajar seperti di atas, sebenarnya siswa sedang belajar bagaimana
cara belajar/bekerja yang baik,Dan yang terpenting siswa belajar mencipta
sesuatu yang baru bukan hanya sekedar User.