
mengenai kepedulian terhadap nasib bangsa indonesia kedepan, dimana tujuannya adalah memperjuangkan terbentuknya Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI), dengan semangat muda mereka mempersatukan bangsa indonesia menjadi satu dengan hasil Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945.
Namun beda zaman beda pula
sikap pemuda terhadap kondisi bangsanya, saat ini pemuda indonesia terjebak
dalam budaya apatis dan hedonis, pemuda yang masih memikirkan nasib bangsanya kedepan
terus berkurang, seandainyapun banyak yang membicarakan kondisi bangsa ini
lebih kepada kritikan dan keluhan kondisi bangsa saat ini tanpa mau memikirkan
solusi dan tindakan kedepan.
Pemuda indonesia saat ini
lebih senang menghabiskan waktu ditempat hiburan daripada sekedar membaca dan
menelaah nasib bangsanya, pemuda-pemuda diperkotaan termasuk anak-anak para
pejabat lebih senang menghambur-hamburkan uang mereka pada butik-butik ternama
dalam dan luar negri, sementara disisi lain anak-anak dipelosok daerah
mengalami kesulitan dalam mengakses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan,
seolah-olah pemuda perkotaan bukanlah satu bangsa dengan anak-anak dipelosok
daerah, tidak ada ikatan kepedulian diantara mereka untuk membangun bersama
masa depan bangsa ini.
Dengan kondisi seperti ini
kita wajib mewaspadai bahwa Indonesia dimasa depan akan mengalami krisis
kepemimpinan, ini dikarenakan bukan karena tidak ada orang yang mau memimpin
tetapi karena Indonesia kehilangan pemimpin yang berkarakter pemimpin.
Dimasa depan Indonesia hanya
menjadi negara yang rakyatnya adalah mantan-mantan anak manja yang menjadi
dewasa, yang lebih cenderung bersikap konsumtif dibanding berwatak produktif.
Mungkinkah anak-anak manja itu mampu menjadi pemimpin dinegri yang memiliki
1.128 suku 726 ragam bahasa dan 17.504 pulau, sementara mereka sendiri terjebak
dalam pragmatisme pribadi yang membuat mereka lebih rakus dibanding kapitalis.
Mungkin yang membaca tulisan
ini akan bertanya seberapa pentingnya masalah seperti ini harus dibahas? Saya
akan menjawabnya sangat penting, tidakkah anda melihat anak-anak penerus bangsa
ini setiap hari dicekoki dengan budaya glamor nan apatis, semakin kehilangan
kepeduliaannya terhadap kondisi bangsanya, jangan bilang ketika masyarakat
bergemuruh saat tim garuda bermain itu nasionalisme, jangan bilang saat rakyat
ramai ketika perbatasan kita diusik itu nasionalisme, jangan bilang ketika
rakyat marah saat ada TKI yang disiksa itu nasionalisme, itu bukanlah
nasionalisme tetapi barbarisme dan fanatisme buta.
Kenapa saya bisa bilang
begitu, coba lihat saat tim garuda bermain, semua pendukung timnas mencemooh
tim lawan, bukankah ini bentuk barbarisme, bukankah kita ini bangsa beradab,
bukankah dalam kebudayaan kita tamu wajib hukumnya untuk dihormati.
Coba kita lihat juga saat
kasus patok perbatasan kita bergeser, kita begitu marah terhadap negara
tetangga tetapi kita lupa kenyataan bahwa ada kemungkinan patok tersebut
bergeser karena warga perbatasan yang tidak puas menjadi Indonesia.
Kita juga sangat marah saat
TKI kita disiksa, memang sang majikan wajib diadili dan diberi hukuman yang
setimpal tapi yang perlu diingat mereka bekerja terkadang tanpa kopetensi, buta
akan prosedur hukum, dan juga lemahnya perlindungan negara.
Nasionalisme itu bukan rasa kepemilikan
suatu bangsa yang ditunjukan dengan berkoar keras saat negri ini terganggu,
tetapi memikirkan solusi masa depan agar negri ini tumbuh berkembang
menyejahterakan rakyatnya serta mampu menghadapi gangguan-gangguan yang ada.
Namun sekarang yang menjadi
pertanyaan, siapa yang akan melakukan itu? Siapa yang akan memikirkan Indonesia
dimasa depan, sementara kita pemuda indonesia hanya asik menghabiskan jatah kue
pembangunan kita, tanpa memikirkan apakah saudara-saudara kita diujung papua
sana menikmati kue pembangunan yang sama dengan yang kita nikmati, sampai
kapankah kue pembangunan itu dapat kita nikmati, dan mampukah indonesia
bertahan?
Pemuda indonesia memang masih
mempunyai rasa memiliki negri ini tapi luntur sudah hingga kedasar rajutan rasa
cintanya pada negri ini.
Ketika saya mendengar isu
separatisme, jujur bukan rasa marah saya yang muncul karena adanya gerakan
makar, namun justru yang ada hanyalah rasa miris dan kasihan, apakah kita tidak
pernah berpikir bahwa gerakan separatisme disuatu daerah muncul bukan hanya
karena kekecewaan mereka terhadap pemerintah, tetapi juga kekecewaan mereka
terhadap kita masyarakat didaerah lain yang seakan tdak peduli dengan nasib
mereka.
Mungkinkah separatisme itu
akan muncul jika saja mereka mampu merasakan pembangunan seperti yang kita
rasakan, memang manusia tidak ada puasnya, tetapi separatisme akan mati
sendirinya jika tidak ada dukungan masyarakat lokal, dengan adanya dukungan
masyarakat lokal membuktikan sakit hati yang mendalam masyarakat daerah tersebut
terhadap masyarakat daerah lainnya.
Sama seperti kita yang
mencintai, namun terus kita disakiti, bukankah lebih baik kita putuskan untuk
tidak mencintai atau mencari sang penggati, itulah yang mereka rasakan. Mereka
merasa tak pernah dianggap sebagai Indonesia, lain dimulut lain dihati, kita
mengaku cinta pada mereka, namun dengan gamblang menunjukan kemewahan kita
didepan keterbatasan mereka, itulah yang terjadi sekarang.
Tidak ada cara lagi
menyelamatkan keutuhan Indonesia dimasa depan, kecuali dengan menumbuhkan rasa
kecintaan mereka terhadap Indonesia yang satu kesatuan tak terpecah oleh batas
wilayah dan suku. Karena dengan hanya dengan menumbuhkan kembali rasa cinta itu
maka akan muncul rasa pengabdian kepada negri ini, sehingga apapun profesinya
dimanapun dia berada akan berusaha memajukan dan membesarkan bangsa Indonesia.
Yang perlu diperhatikan juga
adalah content media yang saat ini justru terlihat menjauhkan kaum muda dari
semangat cinta tanah air, dan cenderung menayangkan keglamouran hidup para
selebritas maupun pejabat. Saya pernah bertanya kepada seorang anak SD siapa
sajakah tokoh empat serangkai, dengan gelagapan mereka membolak-balikan buku
mereka dan tidak bisa menjawabnya, sementara ketika ditanya siapa saja anggota
boy band korea Super Junior mereka mampu menjawabnya dengan sangat lancar hafal
diluar kepala bahkan hingga ketanggal lahirnya. Itu menjadi salah satu bukti
bahwa media berhasil melunturkan rasa cinta tanah air kepada calon penerus
bangsa, sementara orang tua gagal mengajarkan anaknya tentang cinta tanah air.
Selama rasa cinta tanah air
dan persatua melekat pada hati setiap pemuda indonesia maka saya yakin
seyakin-yakinnya tidak akan ada isu separatisme yang berkembang dinegri ini.
Kita tidak bisa melarang bangsa lain untuk lebih maju daripada indonesia, namun
kita yang harus memajukan dengan kerja keras sebagai suatu bangsa.
Satu pesan saya mengakhiri
tulisan ini, seorang pemimpin adalah contoh bagi rakyatnya, namun seorang
pemimpin juga ceriminan dari rakyat yang dipimpinnya, karena pemimpin sekarang
bukanlah nabi utusan langit, dia berkembang bersama rakyat yang kelak
dipimpinnya. Maka jika cinta tanah air dan pengabdian diri kepada bangsa telah
hilang dari hati rakyatnya, jangan berharap mendapatkan pemimpin yang mencintai
tanah airnya dan mengabdi pada bangsanya.
karya yang bagus... 4 jempol deh
ReplyDelete